Bandung -
Kesuksesan beberapa usaha start up digital di Indonesia ikut memancing
maraknya usaha serupa di kalangan anak muda. Namun, menurut seorang
mentor usaha start up digital di Bandung, Yohan Totting, banyak start up
digital yang muncul lalu sulit berkembang hingga akhirnya bubar.
Faktor utamanya karena pola pikir dan ide yang kurang matang serta kekompakan tim masih rapuh.
Berdasarkan pengalaman mendampingi beberapa perusahaan start up sejak 2013, kata Yohan, mindset serta keahlian, juga mental pelaku start up masih kurang. Akibatnya selama kurang dari dua tahun, banyak start up yang rontok meskipun tumbuh kelompok start up baru lagi.
“Mind set mereka start up mudah mendapatkan investor, cepat untung dan kaya, setelah susah maju akhirnya bubar,” kata Yohan kepada Tempo di Bandung.
Lewat Gerakan 1.000 Start Up, ia dan timnya akan melakukan pendekatan yang berbeda. Hal utama yang perlu ditinjau pertama kali yakni masalah yang terjadi di sekitar lingkungan, komunitas, sosial, problem lokal hingga global, yang dirasakan banyak orang. Misalnya sampah, bisnis kuliner, pakaian, layanan kesehatan.
“Dari mengetahui kebutuhan banyak orang itu sekaligus melihat kondisi pasar untuk start up yang ingin dibangun,” ujar Yohan.
Dengan begitu juga, kelangsungan hidup start up akan berjalan lama seiring masalah di kehidupan sehari-hari. “Bisnis bisa dapat belakangan setelah start up mampu melayani kebutuhan masyarakat,” kata Yohan. Yohan menilai selama ini banyak yang salah persepsi tentang pembuatan start up karena langsung tertuju untuk berbisnis dan berusaha menggaet investor.
Pelaku start up misalnya, bisa dibayar oleh rumah sakit yang membutuhkan tenaga untuk mengemas informasi kepada pasien atau keluarganya atau membuat aplikasi yang menghubungkan guru les dengan siswa atau menyajikan layanan ikan segar kepada konsumen sambil meningkatkan ekonomi nelayan.
Ingin lebih mengetahui Bisnis Starup atau Starup Bisnis, atau apa saja tentang cara memulainya untuk pemula silakan simak artikelnya di BISNIS STARUP
“Start up Singapura itu banyak yang mengambil permasalahan di Indonesia karena di negaranya telah ditangani pemerintah,” kata pekerja Google Developer Expert Web Technologies itu.
Yohan mengatakan, cara itu bukan berarti mengkomersialkan atau mengkomodifikasi masalah di masyarakat untuk keuntungan start up. “Yang penting tujuannya jelas, ada karya start up digital, nggak salah,” ujarnya.
Gerakan 1.000 Start Up, menurut Yohan, diawali dengan menjaring orang-orang yang berminat membuat start up. “Bukan start up yang sudah terbentuk, karena nanti akan terbentuk selama proses,” kata dia.
Idealnya para peminat telah memiliki kemampuan sebagai hacker atau pembuat program, hipster yang punya kemampuan artistik, atau hustler yang punya kemampuan berkomunikasi secara bagus, membangun jaringan, dan melihat peluang bisnis.
Dengan keahlian khusus itu, kemudian harus dibangun kebersamaan bekerja sebagai tim. Salah satu anggota yang keahliannya kurang, kata Yohan, bisa mengancam keutuhan tim. “Sekitar 66 persen start up gagal karena faktor tim,” ujar dia
Faktor utamanya karena pola pikir dan ide yang kurang matang serta kekompakan tim masih rapuh.
Berdasarkan pengalaman mendampingi beberapa perusahaan start up sejak 2013, kata Yohan, mindset serta keahlian, juga mental pelaku start up masih kurang. Akibatnya selama kurang dari dua tahun, banyak start up yang rontok meskipun tumbuh kelompok start up baru lagi.
“Mind set mereka start up mudah mendapatkan investor, cepat untung dan kaya, setelah susah maju akhirnya bubar,” kata Yohan kepada Tempo di Bandung.
Lewat Gerakan 1.000 Start Up, ia dan timnya akan melakukan pendekatan yang berbeda. Hal utama yang perlu ditinjau pertama kali yakni masalah yang terjadi di sekitar lingkungan, komunitas, sosial, problem lokal hingga global, yang dirasakan banyak orang. Misalnya sampah, bisnis kuliner, pakaian, layanan kesehatan.
“Dari mengetahui kebutuhan banyak orang itu sekaligus melihat kondisi pasar untuk start up yang ingin dibangun,” ujar Yohan.
Dengan begitu juga, kelangsungan hidup start up akan berjalan lama seiring masalah di kehidupan sehari-hari. “Bisnis bisa dapat belakangan setelah start up mampu melayani kebutuhan masyarakat,” kata Yohan. Yohan menilai selama ini banyak yang salah persepsi tentang pembuatan start up karena langsung tertuju untuk berbisnis dan berusaha menggaet investor.
Pelaku start up misalnya, bisa dibayar oleh rumah sakit yang membutuhkan tenaga untuk mengemas informasi kepada pasien atau keluarganya atau membuat aplikasi yang menghubungkan guru les dengan siswa atau menyajikan layanan ikan segar kepada konsumen sambil meningkatkan ekonomi nelayan.
Ingin lebih mengetahui Bisnis Starup atau Starup Bisnis, atau apa saja tentang cara memulainya untuk pemula silakan simak artikelnya di BISNIS STARUP
“Start up Singapura itu banyak yang mengambil permasalahan di Indonesia karena di negaranya telah ditangani pemerintah,” kata pekerja Google Developer Expert Web Technologies itu.
Yohan mengatakan, cara itu bukan berarti mengkomersialkan atau mengkomodifikasi masalah di masyarakat untuk keuntungan start up. “Yang penting tujuannya jelas, ada karya start up digital, nggak salah,” ujarnya.
Gerakan 1.000 Start Up, menurut Yohan, diawali dengan menjaring orang-orang yang berminat membuat start up. “Bukan start up yang sudah terbentuk, karena nanti akan terbentuk selama proses,” kata dia.
Idealnya para peminat telah memiliki kemampuan sebagai hacker atau pembuat program, hipster yang punya kemampuan artistik, atau hustler yang punya kemampuan berkomunikasi secara bagus, membangun jaringan, dan melihat peluang bisnis.
Dengan keahlian khusus itu, kemudian harus dibangun kebersamaan bekerja sebagai tim. Salah satu anggota yang keahliannya kurang, kata Yohan, bisa mengancam keutuhan tim. “Sekitar 66 persen start up gagal karena faktor tim,” ujar dia