US$90 miliar (sekitar Rp1,2 kuadriliun). Itulah jumlah uang yang dihabiskanoleh perusahaan - perusahaan di Amerika Serikat untuk menyelenggarakan pelatihan dan pengembangan karyawan pada tahun 2017 lalu.
Saya takjub mengetahui angka ini, hingga membuat saya berpikir tentang bagaimana kita semua dapat meningkatkan program pelatihan dalam perusahaan dan tingkat retensi karyawan. Berdasarkan pengalaman saya, hal ini selalu berkaitan dengan budaya perusahaan.
Misalnya, saya baru-baru ini mengenal Etsy School. Para karyawan di perusahaan e-commerce ini menjalankan serangkaian kursus di mana mereka saling mengajarkan keahlian baru. Kursus-kursus ini mencakup banyak bidang, mulai dari coding, menjahit, menari tango, hingga meracik koktail.
Saya suka ide ini karena para staf dapat belajar berbagai keahlian dan menyatukan orang-orang dengan suasana yang hangat namun informatif.
Ketika para karyawan terlibat di tempat kerja, beragam studimenunjukkan bahwa produktivitas meningkat. Biaya pelatihan dan pergantian karyawan menurun secara dramatis.
Biaya-biaya tersebut merupakan salah satu tantangan terbesar bagi perusahaan. Menyelenggarakan program pelatihan dengan tepat tidaklah mudah.
Program pelatihan kerap menghadapi kendala waktu, anggaran terbatas, dan antusiasme yang kurang, terutama ketika pelatihan tersebut gagal mengatasi batasan serta hambatan untuk tumbuh tiap karyawan.
Meski banyak perusahaan berinvestasi dalam program pelatihan dengan cakupan yang luas, ada baiknya mempertimbangkan bagaimana budaya perusahaan yang baik dapat meringankan “beban” pelatihan tersebut.
Pada akhirnya, budaya perusahaan yang fokus pada kebutuhan karyawan secara individu dan membantu mereka tumbuh bisa menghadirkan nilai yang setara dengan kurus atau pelatihan mahal.
Program pelatihan dapat membantu staf–tapi hanya jika dibutuhkan
Pada perusahaan saya, JotForm, kami menyadari bahwa tiap karyawan punya jam sibuk berbeda-beda. Karena kami menghargai waktu mereka–baik di dalam maupun luar kantor–kami mencoba sebaik mungkin untuk bekerja dengan jam kerja normal.
Karena itu, ketika kami menawarkan pelatihan bagi karyawan, program tersebut harus bernilai dan menstimulasi keterlibatan tiap orang. Kami tidak mau membuang waktu karyawan yang berharga. Namun, penelitian menunjukkan bahwa tujuan ini bukan hal uang mudah untuk dicapai.
Sebuah studi dari perusahaan konsultan McKinsey & Company yang menyurvei sekitar 1.440 eksekutif di berbagai industri menemukan bahwa hanya seperempat responden percaya strategi pelatihan mereka menguntungkan kinerja seluruh perusahaan.
Jika kita mengombinasikan penemuan tersebut dengan gagasan bahwa karyawan punya waktu lebih sedikit untuk belajar dari sebelumnya–tepatnya hanya 24 menit per minggu–jelas bahwa kita perlu mengembangkan budaya responsif yang melayani kebutuhan individu.
Misalnya, perusahaan kami telah tumbuh menjadi lebih dari 130 karyawan dalam waktu 12 tahun. Namun dengan memecah staf ke tim yang lebih kecil dan fungsional, kami dapat merespon dengan lebih cepat kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap orang.
Tiap kelompok berfungsi sebagai perusahaan kecilnya masing-masing, mandiri dan mampu mengambil keputusan. Karena kami berkonsentrasi pada kebutuhan masing-masing tim, kami tidak menyia-nyiakan sumber daya dengan melatih orang yang salah untuk tugas yang salah.
Kami tidak selalu melakukannya dengan benar, tapi kami ingin para karyawan merasa bahwa pelatihan yang diselenggarakan bermanfaat bagi mereka secara personal. Dengan mengidentifikasi kelemahan dalam aspek tenaga kerja, serta mencari tahu apa yang diperlukan untuk proyek di masa depan, kami dapat mengembangkan strategi yang secara bersamaan memenuhi dua kebutuhan.
Karyawan yang merasa “terlibat” cenderung jarang keluar dari perusahaan
Richard Branson pernah berkata,”Latih orang-orang dengan baik sehingga mereka bisa pergi, perlakukan mereka dengan cukup baik sehingga mereka tidak mau pergi.”
Banyak pengusaha mengalami kesulitan tidur karena khawatir karyawan terbaik mereka akan mengundurkan diri ketika muncul kesempatan lain. Saya bisa memahami ini.
Rekrutmen dan pelatihan karyawan tidaklah murah, ditambah lagi tim yang tidak tenang sulit berfungsi pada kapasitas maksimalnya. Tapi seperti yang saya bahas sebelumnya, jika kita menyediakan tempat kerja menarik dan memperlakukan karyawan dengan hormat, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Menumbuhkan budaya perusahaan yang ramah terhadap karyawan bukan hanya dengan mengadakan beberapa kali turnamen tenis meja. Hal ini tidaklah mudah (terutama ketika perusahaan tumbuh), tapi pada JotForm, kami bekerja keras untuk tetap menjaga landasan kolaboratif, sekaligus mendorong inisiatif secara kasual–seperti menyelenggarakan hari demo, di mana tim mempresentasikan pekerjaan masing-masing dalam suasana informal dan bebas stres.
Langkah ini tampaknya berhasil. Tahun lalu, saya melakukan perhitungan dan menemukan bahwa tingkat pengunduran diri karyawan dalam setahun mengalami penurunan menjadi hanya lima persen. Saya berbagi angka ini bukan untuk pamer, tapi untuk memberi semangat pada para pengusaha, manajer, dan pemilik bisnis.
Berinvestasi pada budaya perusahaan sangatlah penting–dan akan berbuah dalam bentuk dividen yang nyata. Saya juga mendorong orang lain untuk melakukan perekrutan tanpa terburu-buru, serta hati-hati dengan mempertimbangkan tiap langkah.
Di setiap industri, kita juga harus berusaha memastikan orang-orang tahu bahwa mereka selalu dapat menyumbangkan ide dan memberikan umpan balik, serta memahami bahwa tidak ada pertanyaan bodoh–sungguh.
Tanamkan rasa percaya pada karyawan kamu. Jika kamu mengembangkan ruang untuk mendorong mereka belajar dan berkembang, kebanyakan orang akan dengan senang hati akan tetap tinggal.
Ciptakan budaya di mana semua orang dapat berkembang
Selama lima tahun pertama terjun di dunia bisnis, saya bekerja secara intens dengan empat karyawan yang sama. Kami adalah tim yang bekerja dalam proyek-proyek sama dan menghabiskan istirahat makan siang bersama. Ini juga berarti masalah dapat diselesaikan dengan cepat. Tapi begitu kami mulai tumbuh, saya melihat muncul sejumlah keretakan.
Ketika jumlah tim mencapai 15 orang, kemudian 28 orang setahun kemudian, saya menyadari kami sudah tidak segesit dahulu. Komunikasi kami tidak lagi mulus, dan pertemanan yang dulu kami bangun terasa tidak lagi akrab. Ini adalah cerita umum yang beredar di dunia bisnis.
Bagaimana cara kami mengatasi masalah ini? Dengan cara membangun budaya yang mendukung karyawan dan selalu mendorong mereka untuk terus belajar.
Misalnya, setiap karyawan harus mengikuti masa bootcamp di mana mereka menangani setidaknya seratus permintaan pelanggan dalam bulan pertama mereka bekerja.
Dengan cara ini, tiap anggota tim jadi mempunyai pemahaman mengenai pelanggan kami: apa yang mereka butuhkan, bagaimana mereka berjuang, dan yang paling penting, bagaimana cara mereka meningkatkan layanan.
Biasanya, para karyawan baru juga punya banyak pertanyaan. Untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka, kami memasangkan mereka dengan developer, desainer, atau tenaga pemasaran berpengalaman, setidaknya dua jam per hari.
Ketika saya punya waktu, saya akan mengajak para karyawan baru makan siang bersama. Kami jadi saling mengenal dalam suasana yang lebih santai, dan menurut saya kegiatan ini juga dapat menghilangkan hambatan atau kecanggungan yang mungkin kami rasakan.
Bangun sistem pendukung yang kuat
Budaya tidak pernah bersifat statis, dan membina tempat kerja yang sehat tidak pernah terikat hanya pada satu jenis situasi saja. Tidak satu pun pendekatan yang saya ceritakan bakal menghabiskan dana perusahaan. Tapi cara ini bisa membantu para karyawan merasa lebih termotivasi dan betah di tempat kerjanya.
Jika anggota tim kamu bersemangat untuk datang ke kantor tiap hari, ini berarti kita telah melakukan sesuatu yang benar.
Meski perusahaan lain fokus pada berbagai jenis program pelatihan yang ditujukan bagi staf-staf mereka, pertimbangkan bagaimana mengembangkan sistem pendukung yang tepat dapat memberi kamu keuntungan yang lebih besar.
Tentu, karyawan kamu mungkin tidak belajar menari tango atau meracik koktail selama jam kerja, tapi kamu dapat menyediakan lingkungan yang tepat bagi para karyawan kamu untuk berkembang–yang bisa dilakukan tanpa menghabiskan banyak uang.