Teknologi Artificial Intelligence AI Mendekati Perilaku Manusia

Teknologi Artificial Intelligence AI Mendekati Perilaku Manusia

Artificial Intelligence – AI – “Saya selalu berhasil mendapat penumpang di dekat lokasi konstruksi. Ada banyak penumpang taksi online menunggu tumpangan masing-masing yang tak kunjung muncul di sana,” ujar seorang sopir taksi cerdas yang menjemput saya dari tempat teman tadi malam. “Ini lebih baik daripada menunggu dalam antrian panjang untuk menjemput pelanggan di Changi.”
Teknologi Artificial Intelligence AI Mendekati Perilaku Manusia
Pernyataan sopir taksi tersebut ada benarnya. Terutama pada lokasi konstruksi di samping jalur MRT baru Singapura.
Agak menakjubkan memang bagaimana sebuah percakapan biasa bisa menyibak informasi lainnya. Ia senang mengungkapkan telah mendapat keuntungan bersih lebih tinggi dengan cara menghindari biaya komisi untuk aplikasi taksi dan mendapatkan lebih banyak penumpang dekat lokasi konstruksi dengan memperluas pemahaman lokalnya.
Ia mungkin menyebutnya sebagai wawasan jalanan biasa, tapi yang ia tunjukkan adalah kemampuan memanfaatkan kelemahan sistem pemesanan berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI). Ia memahaminya secara alami tanpa mengikuti pelatihan khusus atau melakukan analisis data. Ia langsung mengalahkan “kecerdasan” algoritme AI yang digunakan oleh aplikasi taksi modern.
Mungkin sopir taksi ini sedang menunjukkan sesuatu: kecerdasan AI tidak dapat mengalahkan “kecerdasan jalanan” manusia.
Batas baru revolusi yang digerakkan oleh teknologi
AI dan machine learning (ML) jelas sedang jadi sorotan. Sulit rasanya untuk tidak terpesona dengan fantasi tentang teknologi ini. Saya selalu terkagum-kagum pada perkembangan baru kendaraan tanpa awak, kemenangan besar teknologi Deep Mind melawan pemain catur terbaik dunia, atau Pepper Robot yang jadi sensasi global serta analisis emosionalnya yang kompleks.
Apakah ini tahap baru dalam evolusi?
Prinsip-prinsip dasar AI dan ML sebenarnya sangat sederhana. Teknologi ini berkaitan dengan analisis data, identifikasi pola, membuat prediksi berdasarkan informasi, lalu melakukan validasi secara terus-menerus dan mengulangi proses tersebut untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan prediksi berikutnya.
Setiap hari, kecepatan komputasi makin cepat, kumpulan set data lebih besar, dan efisiensi algoritme terus meningkat. Kondisi ini secara eksponensial mendorong peningkatan kemampuan sistem untuk belajar dan memprediksi, yang pada akhirnya dapat meniru kecerdasan manusia atau bahkan mengalahkannya.
Beragam perusahaan di seluruh dunia sudah menerapkan teknologi AI dan ML, begitu pun dengan teknologi yang sedang berkembang lainnya–komputasi awan, personalisasi, internet of things, ilmu saraf, dan robotika– ke dalam struktur DNA masing-masing. Bahkan, di kawasan kita sendiri–Asia Tenggara–kamu akan menyaksikan pertumbuhan sejumlah perusahaan yang cepat beradaptasi dengan tren AI ini.

Waktu bagi (r)evolusi regional AI dan ML


Mari kita lihat inovator fesyen Indonesia Sale Stock, perusahaan e-commerce berbasis di Jakarta. Mereka menerapkan teknologi terbaru AI untuk menggali dan menganalisis data dan perilaku pelanggan yang berada di luar kemampuan manusia. Langkah ini memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi desain populer guna mengoptimalkan biaya ke tingkat yang jauh lebih rendah dari perusahaan lain di industri sama.
Inovasi AI tidak terbatas pada industri penyedia barang-barang konsumen. Di Thailand, Rumah Sakit Internasional Bumrungrad telah mengoperasikan IBM Watson, sebuah alat berbasis AI yang dikembangkan untuk pengobatan penyakit kanker.
Sementara di rumah sakit pemerintah Rejavithi, AI digunakan untuk menganalisis hasil pemeriksaan mata pasien guna mengetahui apakah mereka berisiko kehilangan penglihatan. Hal ini membantu menginformasikan keputusan mengenai pengobatan dan pencegahan. Tingkat akurasi dalam mendeteksi penyakit ini adalah 95 persen, 11 poin lebih tinggi dari yang ditunjukkan oleh dokter mata.
AI juga dapat mengoptimalkan bidang pertanian. Di Vietnam misalnya, startup intelijen tanaman bernama Sero telah mendorong petani padi untuk mengambil gambar tanaman yang sakit dan mengunggahnya secara online. Program AI menganalisis foto tersebut untuk mengidentifikasi penyakit yang diderita tanaman, dengan tingkat akurasi yang makin tinggi.
Langkah evolusi selanjutnya adalah ketika sistem mengirimkan diagnosis penyakit tumbuhan dan menyarankan opsi pengobatan melalui aplikasi smartphone kepada petani secara langsung.

Kelemahan AI

Kelemahan AI

Dengan berlalunya waktu, tampaknya sistem yang mendukung AI menjadi makin baik dalam memproses alasan di balik suatu peristiwa dan meniru perilaku manusia dalam menyelesaikan masalah.
Apakah benar begitu adanya?
AI dihadapkan pada kendala mendasar: data yang kita bangun. Kelemahan yang tersamar berada pada data–apakah itu kesalahan pemberian label, bias, atau belum lengkap–makin menguatkan asumsi bahwa jaringan kecerdasan buatan ini bertumpu pada fondasi yang rentan.
Ambil contoh tool rekrutmen kontroversial milik Amazon, yang digunakan para pengecer dari 2014 hingga 2017. Dengan menciptakan sistem yang mengumpulkan data dari lebih satu dekade rekrutmen, tool AI ini mengadopsi bias yang sama yang melekat dalam sistem manusia. Akibatnya, penerapan AI ini malah menurunkan performa resume yang mencatut kata “wanita.” Amazon kemudian menghentikan pengembangan tool ini.
Cerita menarik lainnya adalah tata kelola di kota Cina, Ningbo, di mana polisi lalu lintas menggunakan sistem pengenalan wajah untuk mendeteksi para pejalan kaki. Siapa yang mereka tangkap? Miliarder Tiongkok yang dihormati di sana, Mingzhu Dong, dengan dakwaan kejahatan berupa wajah terpampang di iklan samping bus. Polisi berupaya segera mungkin meredam kontroversi dengan menyampaikan permintaan maaf pada publik.

Apa jawaban untuk teknologi AI ?


Jawabannya, mungkin terletak pada tahap selanjutnya dari evolusi AI, yang melibatkan sistem top-down yang membutuhkan jauh lebih sedikit data, tapi mampu menawarkan solusi seperti yang diberikan oleh manusia dengan lebih cepat dan fleksibel.
Sistem generasi selanjutnya tersebut seharusnya dikondisikan untuk menaklukkan permasalahan di dunia dengan menggunakan akal sehat, dan mampu bertindak berdasarkan probabilitas yang paling masuk akal–bahkan dengan latar belakang pengalaman lebih sedikit.
 Vicarious adalah sebuah startup asal Amerika Serikat yang mendapat dukungan sejumlah investor terkemuka seperti Mark Zuckerberg dari Facebook, Jeff Bezos dari Amazon, dan Marck Benioff dari Salesforce. Mereka sedang mengembangkan kecerdasan buatan untuk robot, yang memungkinkan perusahaan melakukan generalisasi keputusan dari contoh yang terbatas.
Model AI dapat mengurai CAPTCHA dengan tingkat akurasi hampir 67 persen dan hanya membutuhkan 5 contoh pelatihan untuk tiap karakter. Neural network canggih pun membutuhkan 50.000 kali set pelatihan yang lebih banyak, sehingga iterasi semacam itu merupakan suatu kemajuan yang perlu dipertimbangkan.
Proyek Google bernama Loon, yang bertujuan menggunakan sistem balon raksasa untuk menyediakan layanan internet ke daerah-daerah terpencil, baru-baru ini mulai menggunakan model AI yang sangat canggih. AI ini dirancang untuk memprediksi bagaimana balon harus sejajar untuk membentuk jaringan komunikasi di ketinggian stratosfer, di mana pergerakan angin tidak dapat diprediksi.
Faktanya, proses-proses generasi baru ini tidak memerlukan kumpulan data yang besar untuk memastikan bahwa perhitungan dapat dengan mudah dilakukan dalam inferensi dan pembelajaran. Ini juga berarti kemampuan mengidentifikasi kesalahan—langkah penting dalam pemecahan masalah—jauh lebih mudah daripada neural network yang kompleks.
Lalu apa kerugian dari kecanggihan teknologi AI ini? Mari kembali ke cerita di Singapura. Jika AI generasi berikutnya mampu memecahkan masalah yang dibutuhkan untuk melakukan evolusi, maka sopir taksi yang menanti di dekat lokasi konstruksi pada awal tulisan ini bakal kesulitan menemukan penumpang.
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post