Ekosistem perusahaan rintisan digital atau startup di Indonesia sedang tumbuh pesat. Hal ini tak lepas dari meningkatnya penetrasi perangkat elektronik dan jaringan internet.
Menurut Co-founder East Ventures (EV) Wilson Cuaca, investor asing saat ini menaruh minat yang besar untuk mengembangkan startup-startup di Indonesia.
"Semua investor berlomba-lomba untuk mendanai startup Indonesia," katanya usai acara pembukaan coworking space EV HIVE, Jumat, (26/6/2015) di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.
Sayangnya, pemerintah dianggap kurang mendukung pertumbuhan startup dengan segala peluang yang tersedia. Padahal, industri ini yang nantinya bakal mengembangkan ekonomi negara.
"Tantangan kita sekarang itu ada di pemerintah yang kurang mengerti. Mereka berusaha utak-atik. Contohnya lewat RPP E-commerce. Itu jelas-jelas akan menghambat ekosistem startup yang baru saja mau tumbuh," ia menuturkan.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perdagangan online (e-commerce) sudah lama diwacanakan. Tujuannya mengatur mekanisme transaksi jual beli online dan pajak usaha industri online.
Saat ini, draft RPP yang dibuat Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih dalam tahap uji publik. Di dalamnya, terdapat satu pasal yang mewajibkan penjual dan pembeli dalam transaksi online, terverifikasi melalui input nomor KTP dan NPWP. Tahap verifikasi ini biasa disebut dengan KYC (Know Your Customer).
Hal tersebut, menurut Kemendag, dilakukan untuk melacak transaksi online agar memudahkan pemantauan implikasi pajak yang memungkinkan. Selain itu, metode KYC dianggap akan meningkatkan keamanan transaksi online, sehingga tak ada lagi kasus penipuan yang merugikan konsumen.
Apapun dalihnya, bagi para pelaku startup, wacana regulasi transaksi online akan mematikan industri lokal. Sebab, mekanisme verifikasi akan meruwetkan konsumen.
Skenario buruknya, konsumen akan beralih dari transaksi online melalui e-commerce lokal ke media sosial. Para pelanggan Bukalapak, Tokopedia atau Kaskus akan lebih memilih bertransaksi di Facebook, Instagram atau eBay yang lebih sederhana.
Jika benar terjadi, e-commerce lokal akan semakin jauh tertinggal dari situs-situs e-commerce luar seperti AliExpress dan Amazon.
Menurut Wilson, jika ingin membuat regulasi yang tegas, pemerintah seharusnya menunggu hingga ekosistem startup lokal benar-benar mapan.
"Di negara lain industrinya dibiarkan berkembang dulu. Lebih baik startup diwadahi dulu hingga jadi industri yang mapan. Nah kalau sudah begitu baru diregulasi," ia menjelaskan.
Saat ini, kata Wilson, para pelaku startup sedang merapatkan isu ini. Pihaknya juga terus berdiskusi dengan pemerintahan. "Pada dasarnya, mereka (pemerintah) ingin menerima feedback. Tapi mereka belum paham industri ini dan belum belajar dari negara lain. Makanya kita akan terus sosialisasikan ini ke mereka," kata dia.
Ingin lebih mengetahui Bisnis Starup atau Starup Bisnis, atau apa saja tentang cara memulainya untuk pemula silakan simak artikelnya di BISNIS STARUP
Menurut Co-founder East Ventures (EV) Wilson Cuaca, investor asing saat ini menaruh minat yang besar untuk mengembangkan startup-startup di Indonesia.
"Semua investor berlomba-lomba untuk mendanai startup Indonesia," katanya usai acara pembukaan coworking space EV HIVE, Jumat, (26/6/2015) di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.
Sayangnya, pemerintah dianggap kurang mendukung pertumbuhan startup dengan segala peluang yang tersedia. Padahal, industri ini yang nantinya bakal mengembangkan ekonomi negara.
"Tantangan kita sekarang itu ada di pemerintah yang kurang mengerti. Mereka berusaha utak-atik. Contohnya lewat RPP E-commerce. Itu jelas-jelas akan menghambat ekosistem startup yang baru saja mau tumbuh," ia menuturkan.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perdagangan online (e-commerce) sudah lama diwacanakan. Tujuannya mengatur mekanisme transaksi jual beli online dan pajak usaha industri online.
Saat ini, draft RPP yang dibuat Kementerian Perdagangan (Kemendag) masih dalam tahap uji publik. Di dalamnya, terdapat satu pasal yang mewajibkan penjual dan pembeli dalam transaksi online, terverifikasi melalui input nomor KTP dan NPWP. Tahap verifikasi ini biasa disebut dengan KYC (Know Your Customer).
Hal tersebut, menurut Kemendag, dilakukan untuk melacak transaksi online agar memudahkan pemantauan implikasi pajak yang memungkinkan. Selain itu, metode KYC dianggap akan meningkatkan keamanan transaksi online, sehingga tak ada lagi kasus penipuan yang merugikan konsumen.
Apapun dalihnya, bagi para pelaku startup, wacana regulasi transaksi online akan mematikan industri lokal. Sebab, mekanisme verifikasi akan meruwetkan konsumen.
Skenario buruknya, konsumen akan beralih dari transaksi online melalui e-commerce lokal ke media sosial. Para pelanggan Bukalapak, Tokopedia atau Kaskus akan lebih memilih bertransaksi di Facebook, Instagram atau eBay yang lebih sederhana.
Jika benar terjadi, e-commerce lokal akan semakin jauh tertinggal dari situs-situs e-commerce luar seperti AliExpress dan Amazon.
Menurut Wilson, jika ingin membuat regulasi yang tegas, pemerintah seharusnya menunggu hingga ekosistem startup lokal benar-benar mapan.
"Di negara lain industrinya dibiarkan berkembang dulu. Lebih baik startup diwadahi dulu hingga jadi industri yang mapan. Nah kalau sudah begitu baru diregulasi," ia menjelaskan.
Saat ini, kata Wilson, para pelaku startup sedang merapatkan isu ini. Pihaknya juga terus berdiskusi dengan pemerintahan. "Pada dasarnya, mereka (pemerintah) ingin menerima feedback. Tapi mereka belum paham industri ini dan belum belajar dari negara lain. Makanya kita akan terus sosialisasikan ini ke mereka," kata dia.
Ingin lebih mengetahui Bisnis Starup atau Starup Bisnis, atau apa saja tentang cara memulainya untuk pemula silakan simak artikelnya di BISNIS STARUP